Pages

Saturday, February 19, 2011

Karena saya adalah dagingmu, air mata tak hentinya mengalir

Cry me a river?

Saya tertegun membaca spanduk dijalan. Penolakkan pembangunan rumah ibdaha. Sudah setahun lebih saya tertegun didepan spanduk tersebut.
Hati saya teriris
Pilu

Lain lagi ketika saya menyalakkan televisi. Penyerangan kelompok agama yang katanya kafir. Lagi-lago, sudah lebih dari seminggu berita ini ditayangkan di telivisi, sampai bosan, sampai kesal. Ada apa ini?

Saya mungkin bukanlah orang yang bijaksana dan perdulian. Hari-hari saya pun begitu saja saya lalui dengan aktivitas segudang. Saya tak pernah perduli kegiatan sekitar, yang penting kegiatan saya saja. Kegiatan orang lain? itu urusan belakangan. Egois? mungkin saja. Terserahlah.
Saya tinggal di ibukota yang sama egoisnya dengan saya. Seakan-akan, kami mempunyai dunia masing-masing yang tak mungkin diganggu orang lain. Ibukota yang kekejamannya melenihi novel R.L Stein yang bercerita tentang hantu-hantu jahat pemakan manusia, monster-monster menakutkan yang bermuka dua. Di Jakarta semuanya itu real, terlihat nyata. Tak cuma kota yang egois, kota Jakarta adalah kota yang "memungkinkan" semuanya menjadi kenyataan. Like a dream comes true? mungkin saja. Namun dalam konteks yang berbeda. Konteks yang mengarah kepada kebencian, kepalsuan, kelihaian hantu-hantu merayu.

Tak perlu malam untuk melihat mereka. Bahkan seseorang memakai setelan jas rapih pun bisa menjadi salah satunya. Mereka itu monster, semuanya ingin diraih. Mukanya bermuka dua, cocok menjadi tokoh monster di kartun D.C. Cocok sekali. Senyum mereka yang mnyeringai, tampaknya sama seperti manusia serigala yang ada di werewolf. Tampak sangat nyata. Memang nyata, atau saya adalah bagian cerita mereka?
Sebuah kitab ditangan, setelan suci itu dipakainya, gagah sekali. Masuk rumah agama masing-masing. Namun hasilnya? katanya demi agama, namun saling mencemooh. Memakai kompor untuk saling menaikkan emosi. Yang satu bilang anjing, yang sana bilang tai. Tadinya, dijanjikan kerukunan agama. Tapi mana? sekarang sepertinya lebih baik menjadi seorang yang atheis, seorang yang tidak punya agama, karena mereka yang tidak punya agama adalah seseorang yang tidak pernah berantem soal agama. Tak ada gunanya. Memang, fanatisme mengalahkan semuanya.

Saya memang tak perduli, namun sampai kapan kita teridam termangu meratapi nasib ibukota ini?. Katanya saya dagingmu kawan, kalau saudara, mengapa kalian membut satu sama lain menagis tak henti?. A-N-E-H

Terlalu frontal? kadang kita sudah terlalu munafik karena tetap tersenyum ditengah kenajisan ini,

Labels