Tertegun selalu aku memandang malam yang sebenarnya kelabu. Namun, seorang
wanita yang sedang berdiam diri di kamar kecilnya selalu membuat semua malam
kelabu menjadi lebih bersinar. Padahal, saat itu wanita tersebut sedang
memperhatikan ribuan angka tagihan bulanan yang lebih kelabu daripada warna
kelabu sendiri. Berfikir bagaimana caranya mencari pundi pundi untuk menutupi
tagihan-tagihan yang sudah menumpuk. Tetapi tetaplah wanita tersebut tersenyum
untuk menerangi malam ke dua anak perempuannya. Layaknya matahari yang
menerangi sang bulan, sehingga bulan dapat menerangi dunia sepanjang malam.
Saya memanggil wanita tersebut Ibu. Seorang yang terlahir di sebuah kota di
utara Sulawesi, menghabiskan sepanjang masa kecilnya di sana. Hidup masa
kecilnya tampak begitu lancar tanpa adanya kesulitan yang berarti. Sedari
kecil, Ibu adalah penyuka tantangan,
mungkin itu juga yang membuatnya tetap berjalan pada bara api kehidupan. Memasuki masa remajanya, Ibu saya bertandang
ke Ibu kota untuk bersekolah. Entah bagaimana, seusai sekolah, Ibu memilih
untuk mengakhiri masa lajangnya. Di saat teman-teman seusianya sedang sibuk
duduk di bangku kuliah, Ibu berada dirumah menjadi seorang Ibu bagi seorang
anak perempuan yang saya panggil Kakak.
Hidup bukan suatu kemudahan begitu masa lajangnya berakhir. Sulit baginya
untuk hanya duduk santai, ketika semua
kebutuhan rumah tangga tidak terpenuhi. Hidup saat itu tidak pernah berpihak
padanya. Kehancuran demi kehancuran Ibu hadapi, namun demi melihat senyum
terhias di wajah anak perempuan pertamanya, Ibu selalu berusaha. Apapun di kerjakan asal Kakak bisa
bersekolah, asal kakak bisa bahagia dengan kecukupan yang ada. Apapun itu
asalkan tak menyimpang.
Ibu saya selalu percaya bahwa salah satu cara untuk memperbaiki nasib
adalah bersekolah. Setelah menunda sekolahnya setamat SMA, Ibu akhirnya
bersekolah kembali. Dengan mendapat bantuan dari sanak saudara, Ibu bersemangat
untuk kembali bersekolah lagi, walaupun sambil bekerja. Namun disaat itu
jugalah, Ibu merasakan adanya sebuah tanda kehadiran sesosok manusia di dalam
perutnya. Ya, Ia kembali mengandung seorang anak.
Selang 9 tahun setelah anak pertamanya, lahirlah saya ke dunia. Seribu pro
dan kontra muncul ketika kehadiran saya diketahui. Masa rumah tangga yang tidak
stabil membuat semua orang berfikir bahwa belumlah siap bila ada kehadiran
seorang anak lagi. Mendengar semua itu, Ibu bertahan. Bertahan tak hanya
terhadap prakata orang tentang kehamilannya, tetapi juga terhadap dunia. Semasa
hamil, Ia tetap bersekolah dan bekerja. Naik lalu turun bis kota. Semua hanya
untuk seorang anak perempuan yang menunggunya dirumah dan seorang anak di
kandungan. Semua ini hanya untuk kami, saya dan kakak saya.
Ibu tak pernah sekalipun mendendangkan elegi. Ketika angin topan kembali
datang untuk memporak-porandakan kehidupan, lagi-lagi Ibu bertahan. Keadaan
saat itu memaksa Ibu untuk berpindah ke rumah kakaknya. Sebuah keputusan yang
saya yakin begitu sulit. Namun, Ia berani mengambil semua resiko. 5 tahun
tersulit kami, dilalui dengan segala keceriaan. Di situlah kelebihan Ibu, Ia
bisa membuat laut yang sedang mengamuk menjadi laut tenang. Ibu tetap membekali
saya dan kakak saya pengetahuan melalui buku-buku yang tidak pernah absen Ia
berikan, memasukkan saya ke berbagai kegiatan, dan tetap memenuhi kebutuhan
saya baik primer dan sekunder. Semua itu, di tengah badai yang tengah
berkecamuk.
Ibu tidak sekalipun juga memaksakan kehendaknya. Baginya, apapun harus di
jalani dengan berpasrah kepada Yang Maha Kuasa, meskipun toh kita harus tetap
berusaha menantang hidup. Sama hal nya ketika saya memutuskan untuk mendalami
mode ketimbang harus belajar hukum seperti kakak saya ataupun ekonomi seperti
kebanyakkan orang. Mungkin, melihat keadaan kami yang hanya berstatus “cukup”,
belajar di sekolah mode hanyalah seperti punguk merindukan bulan. Namun,
meilhat tekad saya yang tidak dapat di bedung, ibu berusaha untuk mencari
jalannya. Ibu tetap berusaha menantang hidupnya namun juga berpasrah pada
Tuhan. Satu per satu, jalan tersebut terbuka. Ibu berhasil mewujudkan impian
saya, anak ke duanya, memasukki sekolah mode.
Selalu tak sampai hati bila mengingat semua pengorbanan yang Ibu berikan.
Ia benar-benar selalu berusaha membuat anak-anaknya bahagia. Tak hanya tulang
yang di banting, namun hak nya untuk mendapatkan kesenangan bagi dirinya
sendiri pun rela Ibu banting demi kepentingan anak-anaknya. Ibu rela di lempar
batu kehidupan dan tetap pasrah. Tak sekalipun pernah Ibu benar-benar mengeluh
akan sakitnya lemparan batu-batu tersebut. Ibu tetap berjalan dengan kokoh,
seperti tak terjatuhkan.
Tuhan tak akan memberi batu pada yang minta roti. Begitulah hidup untuk
Ibu. Ibu percaya, bahwa cobaan yang kita alami tidak akan pernah melebihi batas
kemampuan kita. Ibu, yang di besarkan secara Kristen Protestan, selalu
berpegang bahwa semua indah pada waktunya. Kehidupan begitu membaik, seakan
waktunya sudah tiba. Perlahan semua awan hitam perlahan meninggalkan kehidupan
ini dan langit pun menjadi cerah. Mungkin kami belum mempunyai semua
kebahagiaan di dunia ini, namun kehidupan sudah berangsur pulih dan stabil.
Lagipula, untuk apa mempunyai semua kebahagiaan, kalau tidak mempunyai seorang
Ibu hebat seperti yang saya miliki?.
"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di websitehttp://nulisbarengibu.com”
regards,
zombiegail